Kamis, 31 Mei 2012

Review Jurnal Hukum Perjanjian ( Revisi )


Status Hukum Perjanjian Internasional dalam
Hukum Nasional RI
Tinjauan Dari Perspektif Praktik Indonesia
Damos Dumoli Agusman
Abstrak
Itu selalu menarik untuk membandingkan antara analisis akademik dan masalah praktis dalam menerapkan perjanjian di Indonesia. Artikel ini mencoba untuk perjanjian gambaran dan itu adalah urusan yang relevan dari SPK perspektif praktis tentu saja akan memperkaya diskusi tentang implementasi perjanjian dan menentukan aspek apa saja harus lebih diteliti.
I.                   Pendahuluan
Hukum, doktrin dan politik Indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum berkembang dan acapkali menimbulkan persoalan praktisdalam tataran implementasi perjanjian internasional didalam kerangka sistem hukum nasional. Ketidakjelasan ini merupakan bagian dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Secara teoritis persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum indonesia. Pada negara maju, aliran ini dicerminkan dalam constitusional provisions atau UU nasional yang secara tegas memuat kaidah tentang apa status hukum intenasional dalam hukum nasionalnya.
Dalam teori, terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu:
a.      Aliran Dualisme yaitu menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum terpisah dari hukum nasional.
b.      Aliran monisme yaitu menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum.
II.                  Pembahasan
Pada Negara-negara hokum modern seperti AS, Inggris dan Negara-negara Eropa Barat, pengembangan doktrin tentang hubungan hokum ini telah digulirkan sejak awal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik pada proses legislative maupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi dalam suatu pilihan politik hokum baik monism, dualism maupun kombinasi keduanya.
Sistem hukum di Indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Akan tetapi menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang diharapkan serta seyogianya member warna tentang politik hokum tentang masalah ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pernyataan tentang status perjanjian internasional dalam hokum nasional. Ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa factor yang mewarnai proses penyusunan UU, yaitu:
1.      Perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang saat ini melalui pandangan Prof. Mochtar Kusumaatmajaya yang mengindikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monism primat hukum internasional.
2.      UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktik Negara RI tentang pembuatan perjanjian Internasional yang sebelumnya dilandaskan pada Surat Presiden RI No. 1826/HK/1960 kepada DPR tentang pembuatan perjanjian dengan Negara lain.
3.      Dunia akademis pada waktu itu tidak atau belummenyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan internasional maupun nasional.
4.      Juriprudensi Indonesia belum member kontribusi untuk teridentifikasikan persoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlu perhatian perumus UU ini.
Dalam praktik Indonesia, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasikan dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikan pada domain hokum nasional, misalnya UNCLOS 1982 yang diratifikasikan oleh UU No.17/1985 tetap membutuhkan adanya UU No.6/1996 tentang perairan. Dalam hal ini system hukum Indonesia tidak terlalu mengkonstruksikan secara tegas tentang perbedaan antara ratifikasi dalam dimensi hukum internasional dengan ratifikasi dalam dimensi hukum nasional.
Pengertian ratifikasi dalam UU ini kenyataannya hanya diartikan sebagai pernyataan eksternal Negara untuk mengikatkan diri (consent to be bound a treaty) seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.
Penjabaran konvensi  PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) kedalam hukum nasional merupakan contoh klasik yang menggambarkan keruwetan ini. Sejak dikeluarkan deklarasi Juanda 1957, maka melalui UU perpu No.4/1960 tentang perairan ditetapkan bahwa peairan didalam garis pangkal kepulauan Indonesia adalah rejim perairan pedalaman (internal water). UNCLOS 1982 sebagai hukum internasional menetapkan bahwa perairan digaris pangkal kepulauan adalah rejim perairan kepulauan (archipelagio waters).
               Prinsip untuk semata-mata mengedepankan hukum nasional dalam perundingan perjanjian internasional sebenarnya tidak memiliki justifikasi hukum. Dalam hukum Indonesia tidak terdapat aturan yang melarang pembuatan perjanjian yang menabrak hukum nasional. Pasal 4 (2) UU No. 24/2000 tentang perjanjian internasional hanya menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
               Dalam praktik Negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan Negara mengubah hukum nasionalnya bukanlah sesuatu yang tidak lazin. Asumsi dasar dari perspektif hukum internasioanal justru menekankan bahwa Negara untuk membuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional.
               Namun pada era refrmasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan hukum nasional sangat ditekankan oleh Indonesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakatu tetap dalam korior hukum nasional.
               Kejelasan dokrin dan hukum yang mengatur tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi Indonesia. Dengan belum adanya dokrin itu telah mengharuskan Indonesia untuk menganbil sebuah kebijakan nasional
               Sehubungan dengan itu makan sudah waktunya bagi sistem hukum Indonesia untuk mulai mengembangkan aturan tentanghubungan  hukum Internasional dan hukum nasional.
Kesimpulan
Hukum perjanjian internasional sendiri telah cukup jelas menempatkan kedudukan hukum nasional. Pasal 26 Vienna Convention 1969 on the Law of Treaties mengatur prinsip fundamental hukum perjanjian internasional, Pacta Sunt Servanda yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat pada pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Lebih lanjut Negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalan dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.
Daftar pustaka
-          Anthony Aust. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge University Press, 2000.
-          D.J. Harris Cases and Materials on International Law. London : Sweet & Maxwell, Ltd, 1998.
-          Malcolm N. Shaw. International Law. Cambridge University Press, 1997.
-          Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, BinaCipta 1975.
-          Cassese, Antonio, International Law, Oxford, 2005.

S     Sumber : http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308488504.pdf
 
Nama Anggota :

1.    Teguh Eko setiadi (26210853)
2.    Riyan Dwi Yusfidianto (26210079)
3.    Muhamad Arifiandi (24210642)
4.    Boby Ariyanto (21210429)
5.    Ivan Priyandirga Lipio (23210683)

Kelas : 2EB06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar